Liburan semester 1 ini sangat membosankan. Raya hanya menghabiskan waktu di rumah ... rumah ... dan rumah. Mau pergi main keluar tapi dengan siapa? Mau kemana?. Beginilah nasib kalau nggak punya pacar, kesepian. Hihihihi... . Untung ada notebook and modem punya kakaknya di rumah, jadi kerjaannya di rumah ya onliiiiinnneeee aja terus. Update status facebook, comment, send wall, etc.
“Eh, ada yang ngirim wall nih... oh dari bg Arel toh...”
Arel @ apa kabar Raya, lagi dimana??
Raya @ baik clalu, lagi di rumah ja bg. Oia, gmn liburannya bg??
Arel @ libur??? Hmmm... asyik2 aja. Kalau kmu gmn?
Raya @ ngebosenin bg, di rumah aja.
Arel @ haha... pergi main kek, ma pacar gtu ...!!
Ngomong-ngomong soal pacar, Raya sudah pernah pacaran 2 kali semenjak SMA dengan 2 orang yang karakternya 180° sangat berbeda, tapi tidak ada yang umurnya sampai 1 tahun. Semenjak itu, Raya tidak lagi mau pacaran. Capek!!.
Arel adalah senior dari fakultas seberang. Mereka belum pernah bertemu lho. Pertama liat Arel pada waktu OSPEK, dia adalah salah satu senior pembimbing di kelompok Raya. Karena dia baik, makanya Raya cari nama FB nya. Eits, ada juga senior favorit namanya Dio. Wah, ternyata penggemar mereka bwaaannyyaakkk banget. Ckckck...
***
Di tempat lain, Dio juga lagi sibuk online tuh. Dia juga dari fakultas yang sama dengan Arel. Mempunyai wajah tampan, kulit sawo matang, hidung mancung, nggak heran kalau waktu OSPEK, dia punya banyak penggemar. Beda dengan Arel yang kurus ceking dan putih. Tapi, Raya punya sebutan lain buat Dio yaitu playboy!!.
“Hmm... si Arel wall-wall-an sama syapa lagi tuch?? Asyik banget kayaknya.” Dio langsung buka profilnya Arel, dengan pelan dia berkata, “Lagi-lagi sama ‘Raya Honami Genda” Kira-kira dia anaknya gimana ya? Liat sekilas kayaknya cantik deh.”
Dio langsung menutup profil Arel dan membuka profil Raya, “wah, dari fakultas sebelah ternyata. Pp nya bagus. Aslinya pasti lebih cantik. He—he-- .” Dio nyengir-nyengir sendiri, terlihat dari raut wajahnya seperti merencanakan sesuatu.
***
Keesokan paginya di kampus, Dio dengan sengaja menghampiri Arel yang lagi duduk sendiri di taman. “Woi!!! Hehehe ...” Tubuh Arel terlonjak tapi dia hanya diam saja, Arel hanya melirik Dio sekilas dan kembali menatap komik kesayangannya.
“Haaahh... Pagi-pagi dah gangguin suasana orang aja lo. Nggak liat gw lagi serius, klimaks ne ceritanya!” Arel ngomel-ngomel tapi tidak menatap Dio, dia tetap menunduk melihat komik yang dia baca. Dio jengkel, dengan cepat dia merebut komik Arel.
“heh, kalau orang dateng tu disambut dikit kek, dasar!!”
“haaahh... mau apa sich lo, siniin komik kesayangan gw.”
Dio tidak mendengar, dia langsung menyembunyikan komik itu di belakang punggungnya dan langsung bertanya, “Hmm, gw boleh tau nggak, yang namanya Raya Honami Genda tu siapa sich??” Arel memolototin Dio, “Lo mau tau?? Kembaliin dulu komik gw!” Dio mencibir dan langsung mengembalikan komik Arel, “Raya tu anak fakultas sebelah. Dia itu satu dari sekian banyak junior yang kita bimbing waktu OSPEK kemaren. Emangnya kenapa?”
“Wah, berarti dia tau gw donk! Lo punya nomor hapenya nggak? Minta donk.”
“Buat apa? Mo lo goda ya. Heh, nggak bakal bisa. Si Raya tu dah kebal sama playboy kayak lo.”
“Masa’ sih??? Tau nggak, setiap liat kalian berdua wall-wall-an, kayaknya anaknya asyik. Lagian mana ada yang tahan sama pesona gw, ya nggak?” Dio mengangkat dagunya dengan sombong di depan Arel.
“Songong lo ! Coba aja kalau bisa, nih ... gw kasih nomor hapenya.” Arel menyodorkan ponselnya.
“Ngomong-ngomong aslinya dia cantik nggak?” Arel menengadahkan wajahnya ke langit, sambil berfikir dia berkata, “Gimana ya? Kalau diliat dari Ppnya sich lumayan manis. Gw belum ketemu yang aslinya tuch!”
Dio menepuk-nepuk bahu Arel dan menarik Arel sambil berbisik, “Gw pengen ketemu sama Raya, lo bantuin gw yah!!”
Dengan wajah bingung Arel nyeletuk, “Lho kok gw? Nomor hapenya kan lo dah dapet. Tinggal telepon atau sms, ajak ketemuan Rayanya kok harus minta bantuan gw???”
“Yee... yang dekat ma Raya kan lo, ntar dia nggak percaya kalau yang ngajak ketemuan tu gw, secara gw cowok paling keren di sini, hehehehe... Yang ada gw dicuekin.”
Sebenarnya Arel tidak kasihan melihat wajah penuh harap dari Dio. Dia hanya sedikit terganggu dengan celotehan pagi-paginya Dio. Saking jengkelnya, Arel langsung menganggukkan kepalanya tanda bersedia membantu Dio.
Malamnya, Arel memikirkan bagaimana cara mempertemukan Dio dan Raya, diamana... kapan... dan jam berapa. Arel memutuskan membuka notebooknya dan online untuk sementara. Yah, tepat sekali waktunya. Arel melihat Raya juga lagi on. Arel memulai untuk chat.
Arel @ rrrrraaaayyaaaaaa........
Raya @ ya .... bg ....
Arel @ besok sibuk nggak?
Raya @ hmm... kenapa tu bg???????
Arel @ ada yang mau ketemu ma kamu, temen bg sich...
Raya @ hah!!! Syapa bg?
Arel @ ada lah pokoknya. Besok kita ketemu didepan bank kampus jam 11, key.
Raya @ ya bg tapi ------
Belum sempat mengetik balasan chat, Arel tiba-tiba off. Raya kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati, “Emangnya ada apa sich? Siapa yang mau ketemu gw?” Raya hanya menatap layar notebooknya dengan wajah bingung. Di kepalanya banyak tanda tanya yang menari-nari mengelilingi pikirannya. Dia memutuskan untuk tidur dan tidak memikirkannya lagi.
***
Pukul 10.50 am keesokan harinya, Raya sudah berdiri di depan bank kampus, sendirian. Raya celingak celinguk liat kiri kanan depan belakang, mana tau liat batang idung Arel dari kejauhan. Tapi tidak ada tanda-tanda seseorang yang mendekatinya. Orang-orang hanya lalu lalang melewatinya dengan cuek seperti tidak sadar ada dirinya berdiri disitu. Raya menatap jam tangannya dan sudah jam 11 tepat tapi orang itu tetap tidak menampakkan diri.
Raya memutuskan untuk menelpon Arel, tapi ketika akan memencet keypad lock, seseorang menyentuh bahu kirinya, “Raya, ya?” Raya terkejut. Pelan-pelan menolehkan kepalanya ke samping kiri. Bukannya Arel yang dia temui tapi dia melihat wajah yang sangat familiar di matanya. Raya pernah melihatnya pada waktu OSPEK. Dia adalah senior paling favorit—Dio.
Raya terbata-bata tak sanggup melihat wajah Dio secara langsung karena gugup, “Ha! Bg Dio?? Koq bisa di sini??” Dio mengeluarkan senyumnya yang paling manis dan berkata, “Hmm... bukankah kita janjian di sini ya?” Dio terdiam sejenak mengingat sesuatu, “O iya, maksudnya Arel membantu gw ketemu sama lo.”
“Bg Arel??” Wajah Raya yang awalnya seperti melihat malaikat paling tampan, tiba-tiba berubah kebingungan, “Sebenarnya ini ada apa sih??”
Dio tidak menjawab. Dia melihat Raya dari ujung kaki sampai ujung kepala dan tersenyum kecil, “Hhmm, gw heran kok di FB lo cantik banget, tapi kok aslinya kayak gini sih? Bulet, pendek, gendut lagi!! Hah, kok bisa si Arel ngenalin orang kayak lo sama gw. Benar-benar buang-buang waktu gw aja.”
WAH!! Bom waktu di otak Raya meledak mendengar hinaan dari mulut Dio. Dia tidak lagi bagaikan malaikat paling tampan, tapi dia sudah berubah jadi malaikat paling jelek kayak kambing congek!! Dengan mata penuh amarah, Raya memelototinya, “Heh, senior! Mulut lo tu dower banget kalau ngomong. Lo aja yang begok, mau aja ketemu sama cewek kayak gw. Jangan mentang-mentang lo senior paling paporit di kampus ne, lo bisa ngehina gw. Emangnya lo keren ha??? Di bandingin dengan Aming, lebih kerenan Aming dari pada lo, tau! Lo kira gw tertarik ma tampang lo? Kagak!”
Raya nggak henti-hentinya memaki-maki Dio. Wajah Dio memerah mendengar perkataannya. Raya langsung pergi dari situ dan mencibir ke wajah Dio. Setelah jauh dari tempat itu, Raya menoleh ke belakang dan melihat Dio tetap berdiri tak bergerak di sana, “Heh, rasain lo, makan tu hujatan gw!”
Dio tetap tak bergerak di sana. Dia tidak marah, tapi dia terkejut, “Wah, apaan tu tadi? Geledek bukan?” Tiba-tiba dia tertawa geli, “Hahahah.... cewek tu super juga ya’... waw... baru kali ini gw di maki-maki ma cewek.”
Dari kejauhan, Arel melihat Dio tertawa-tawa sendiri dan bergegas mendekatinya, “Heh, yo’! Ngapain lo di sini ketawa sendiri? Gila lo ya! Reputasi lo bisa jatoh kalau anak-anak liat lo!” Arel begitu sibuk menutupi ekspresi Dio yang kayak orang gila.
Dio terdiam menatap Arel dengan penuh arti. Dio menarik bahu Arel dan memeluknya. Dengan riangnya Dio berkata, “Makasih banget, rel! Makasiiiihhh banget!! Raya ... kereenn... cewek kayak dia yang selama ni gw cari! Heheh... yippiii...!!!” Dio menghuyung-huyungkan badan kurus cekingnya Arel ke kanan dan ke kiri. Arel juga ikut senang dengan pertemuan pertamanya dengan raya dan sekaligus tersiksa.
***
Raya memasuki gerbang kos dengan suasana hati kesal dan jengkel, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ternyata ada yang mengirim sms. Dia buka sms tersebut dan matanya terbelalak membaca isinya, “woi, ndhut. Gw bakal buktiin ke lo, kalau gw bukan cowok kayak yang lo bilang tadi! Inget itu ya!!! Dio”.
“Sialan! Dari mana pula tu orang dapet nomor gw. Aarrgghh... bullshit!!!” Raya kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Raya tak peduli apapun yang Dio bilang.
***
Pagi-pagi-nya, Raya terkejut ketika melihat wajah orang yang paling menjengkelkan di depan gerbang kos. Dio menyandarkan badanya di pintu mobil dan dia tersenyum ketika melihat Raya keluar dari kos.
“Heh, ngapain lo pagi-pagi udah nongol di depan muka gw! Nggak puas lo ya dengan makian gw kemaren? Mo tambah!! Haha...” Dio hanya diam. Dia membalikkan badan, membukakan pintu mobilnya dan menyilahkan Raya untuk masuk, “Silahkan masuk!”
Raya bingung, lalu tersenyum licik padanya, “Nggak perlu, makasih!” Lalu melenggang pergi dan pada saat itulah Dio berkata, “Kan kemaren gw dah bilang ma lo. Gw bakal buktiin kalau gw bukan cowok kayak yang lo bilang.” Kaki Raya terhenti melangkah, Raya bergumam dalam hati, “Apa dia serius? Kalau gitu, mari kita buktikan.” Raya membalikkan badan dan tersenyum pada Dio. Dia berjalan mendekati Dio dan menatap matanya lekat-lekat dan menaiki mobilnya.
Selang beberapa saat, laju mobil berada dalam kecepatan rata-rata. Di dalam perjalanan mereka hanya diam. Raya sering mempergoki Dio curi-curi pandang padanya, “Pertama, kita kemana?”
“Lo diam aja, ikuti aja intruksi gw. Di depan ada persimpangan, belok kiri. Jelas!!”
Dio terkejut ketika melihat tempat dimana mereka berhenti. Ya, mereka berhenti di depan sekolah modelling milik papa Raya. Sebelum papanya berangkat ke luar negeri, papanya berpesan untuk selalu mengunjungi sekolah tersebut supaya kesannya sekolah itu selalu diawasi dan dikontrol oleh pemiliknya. Raya tentu tidak salah membawa Dio kesini karena di sini pasti banyak cewek-cewek cantik nan kurus langsing dan tinggi, cocok dengan selera playboy kayak dia.
“Woi, bengong aja lo. Cepet ikut gw masuk.” Dio mengikuti Raya dari belakang. Baru saja masuk pintu utama, sudah banyak model-model pemula itu ngelirik ke arah Dio. Begitupun Dio, dia sibuk dengan gayanya yang tebar pesona pada model-model itu. Setelah menyapa beberapa karyawan, Raya lalu membawa Dio ke ruang kerja papanya. Selama papanya di luar negeri, Rayalah yang punya kuasa atas ruangan itu.
Raya melihat Dio duduk santai di sofa. Dia pun duduk di sofa berseberangan dengan Dio, “Seneng kan lo, gw bawa kemari. Cuci mata deh lo sampe puas.”
“Hehehe... eh, bokap lo punya sekolah modelling, kok lo nggak jadi model aja sich?”
Mata Raya melotot dibuatnya, “Hellooo... lo nggak liat badan tambun gw! Mana bisa jadi model!!”
Dio tertawa terbahak-bahak, “Haha, nggak tambun-tambun amat kok. Klo lo kurus, cantik kali.”
“Gw nggak kepikiran tu buat kurus. Buat apa? Buat menarik perhatian cowok? Hah, nggak penting banget. Yang ada kalau gw kurus, gw malah dijadiin pajangan berjalan ma cowok gw bukannya cinta!”
Dio ternganga mendengar perkataan Raya, “Pajangan?”
“Iya, lo liat aja cowok-cowok jaman sekarang. Cari cewek yang cantik, bohai, langsing buat apa? Kalau nggak buat pajangan buat dipamerin sama teman-temannya atau sebagai pelampiasan nafsu doank, bukan cinta!! Hhm, murahan!! Lebih baik jadi diri sendiri tampil apa adanya dan senyaman mungkin. Dan gw nyaman dengan keadaan gw yang sekarang.”
Raya melihat Dio hanya diam mendengarnya berceloteh. Dia hanya tersenyum dan selalu menatap Raya tanpa berkedip. Dia beranjak dari tempat duduknya. Dia menghampiri Raya, menundukkan kepalanya di depan wajah Raya, sambil mencubit kedua pipi Raya dia berkata,
“Benar, junior! Ngapain kita harus jadi seperti orang. Itu sama aja kita pake topeng. Jelas!!” Dio berdiri dan pergi meninggalkan Raya. Sebelum membuka pintu ruangan, dio berhenti, “o ya, dan satu hal lagi, gw bukan termasuk cowok seperti yang lo bilang tadi.” Dio pun berlalu.
Raya terkejut dengan pernyataannya yang terakhir, “Apa? Nggak termasuk? Bukannya cowok playboy itu sama aja. Dasar! mencoba membela diri ternyata.”
***
Semenjak itu, Raya sering mengajak Dio ke sekolah modelling tersebut karena kemanapun Raya pergi Dio selalu ada. Mungkin dengan itu Dio bisa membuktikan kalau dia bukan termasuk cowok seperti yang Raya bilang. Setidaknya, selama itu pula lah Raya bisa dilindungi oleh Dio. Perlahan-lahan perasaan itu mulai muncul dari lubuk hati Raya.
Suatu hari, Dio keluar dari sekolah modelling menuju mobilnya. Baru beberapa langkah keluar dari pintu, Dio mendapati mobilnya sudah ditunggui oleh seorang cewek berparas cantik, tinggi, stylist banget—Ima.
Dio tidak mempedulikan kehadiran Ima, dia berkata dengan nada pelan, “Minggir lo!”
Ima dengan cepat menahan tangan Dio untuk membuka pintu mobil, “Gw perlu bicara sama lo, tolong!” Dio memalingkan wajahnya dan menyeka tangan Ima, “Naik!!”
Mereka berhenti di sebuah taman yang tak jauh dari sekolah modelling Raya. Mereka duduk disalah satu kursi taman disana. Dio hanya diam sedangkan Ima selalu menatap wajah Dio.
“Dio... kayaknya lo deket banget sama anak itu. Setiap habis pulang kuliah, lo selalu menghilang. Ternyata menemani dia, Raya. Kalian pacaran ya?”
Dio tetap tidak menoleh, “Itu bukan urusan lo!”
Ima memegang tangan Dio. Wajahnya terlihat sedih, dengan lirih berkata, “Itu juga jadi urusan gw. Lo tau, semenjak kita putus sebulan yang lalu, gw baru sadar kalau ... gw benar-benar sayang sama lo.” Dio mengangkat ujung bibirnya dan melepas tangan Ima, “Hm, sayang? Setelah lo campakan gw, baru lo sadar? Apa hebatnya gw dibandingkan dengan ‘om-om’ yang ---” Belum selesai bicara, Ima menampar Dio .
“Maksud lo apa, hah?” Dio berteriak sambil memegang pipinya.
“Ngapain lo masih ungkit-ungkit masalah itu lagi?”
“Kenapa? Kenapa lo lebih memilih ‘om-om’ itu daripada gw! Lo kira kita putus karena apa!”
Ima terlihat bingung untuk menjawabnya, “Itu ... lo kan tau gw perlu banyak uang waktu itu!”
“Mengapa lo nggak mintak sama gw? Gw kan cowok lo!! Setidaknya gw bisa bantu lo sedikit.” Dio diam sejenak, “Oh, karena uang dia lebih banyak dari gw, iya kan! Murahan lo!”
Air mata Ima mulai menetes, “YO!!! Gw nggak ada jalan lain.”
Dio terkejut, “Apa? Lo tu sesat! Lo sama sekali nggak menghargai gw sebagai cowok lo. Sorry, gw nggak butuh cewek kayak lo lagi.” Dio beranjak dari duduknya dan melangkah pergi tetapi Ima menahan Dio. Ima merangkul Dio dari belakang, “Please, Dio ... jangan pergi.” Dio tidak mendengar. Dio berusaha melepaskan pelukan Ima tetapi Ima merangkul cukup erat. Sebelum Ima melepaskan rangkulannya, pada saat itulah Dio menyadari kalau dari tadi dia diperhatikan oleh Raya.
Raya hanya berdiri tak bergerak melihat adegan berpelukan Dio dan Ima. Wajahnya tampak terkejut tetapi tetap tenang. Raya tersenyum ke arah Dio dan berbalik badan menjauh dari Dio.
Dio salah tingkah. Berbeda dengan Ima. Ima tersenyum lebar karena itulah yang dia mau. Membuat Raya cemburu. Dio bergerak dengan cepat. Di lepaskannya pelukan Ima dan berlari mengejar Raya.
“Raya!”
Raya berhenti melangkah. Dio berdiri tak jauh di belakangnya, “Lo jangan salah paham dulu.”
Raya tidak mentap Dio dan berkata,“Seharusnya lo mengakui apa yang gw katakan dulu. Awalnya gw udah mulai percaya tapi taunya sama saja. Pembohong!” Raya kembali melangkahkan kakinya. Dia tidak mempedulikan Dio yang terus memanggilnya dari belakang.
***
Semalaman Dio tidak bisa tidur. Dia tidak henti-hentinya menyesali perilakunya. Ada rasa cemas yang muncul dari hatinya. Rasa yang tidak mau dia rasakan sekali lagi setelah Ima.
Setelah kuliah, Dio langsung pergi mencari Raya ke fakultasnya tetapi tak bertemu. Dio kemudian mencari ke sekolah modellingnya, tetapi kata karyawan di sana Raya baru saja pergi.
Dio berkata dalam hati, “Apakah Raya ada di taman itu?”
Benar saja, Dio mendapati Raya sedang berjalan sendiri di taman. Wajah Raya tampak sendu. Dia seperti memikirkan sesuatu. Dio mendekati Raya. Raya menyadari ada seseorang yang menghampirinya. Wajahnya yang tertunduk, perlahan terangkat tetapi tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Raya tidak peduli. Dia tetap berjalan ke depan hingga berpapasan dengan Dio.
“Tunggu!” Dio langsung memegang tangan Raya sewaktu berpapasan dengannya. Raya berhenti. Mereka menatap arah yang berlawanan.
“Ima adalah mantan gw sebulan lalu. Dia meminta gw kembali padanya. Tetapi gw menolak. Gw mohon, lo cabut kata-kata lo yang kemaren. Gw tidak seperti itu.”
“Apa peduli gw. Gw kan bukan siapa-siapa lo,” kata Ima lirih.
Dio menatap Raya penuh harap tetapi Raya lebih banyak diam, tidak mau menoleh pada Dio. Setelah berbicara, Dio melepaskan tangan Raya.
Raya tidak langsung pergi. Perlahan dia menatap Dio, “Apa yang sebenarnya lo inginkan dari gw?”
Dio menarik bahu Raya untuk berhadapan dengannya. Matanya menatap dalam mata Raya, “Gw sayang sama lo!”
Raya terkejut. Dengan nada tak percaya Raya berkata, “Hm.. sudahlah. Gw nggak butuh kata bullshit dari mulut playboy lo!”
“Raya, lo nggak percaya ma gw?” Dengan lembut Dio memeluk Raya di taman itu. Tapi, tidak ada perlawanan yang berarti dari Raya.
Dengan lirih Dio berkata,“Raya, apa lo bisa ngerasain detak jantung gw sekarang? Lo kira kenapa gw mau capek-capek ngikutin lo kemanapun lo pergi? Kenapa gw mau capek-capek membuktikan semuanya sama lo selama ini? Lo tau kenapa, hah? Selama gw bersama lo, setiap langkah yang kita lewati selama ini berdua, semuanya itu menyadarkan gw kalau gw sayang ma lo! Gw nggak menginginkan apapun hari ini. Yang gw inginkan hanya lo.. Hanya kamu Raya”
Mata Raya meneteskan air mata. Hatinya tersentuh mendengar setiap kata-kata Dio. Bibirnya bergetar saat mengatakan, “Dio, sungguhkah?”
Dio tersenyum manja. Dio memeluk erat tubuh Raya dengan lembut. Waktu itu lah angin berhembus sepoi-sepoi menyejukkan. Mereka larut dalam susana haru.
“Horeee!! Berarti gw berhasil donk!!” Tiba-tiba Arel muncul di tengah-tengah Dio dan Raya. Dio kesal dan menjitak kepala Arel, “Yee... gangguin orang aja lo. Hahaha....”
Mereka bertiga-pun tertawa bahagia bersama.
END...
Who am I ?

- Ayie Honami Genda
- Buat apa harus MENIRU ORANG LAIN untuk bisa menjadi TERKENAL... #just be the way U r --> Elo ya Elo -- Gw ya Gw <--
Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek^^. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Pendek^^. Tampilkan semua postingan
Kamis, 08 Maret 2012
BUNGA
Pagi-pagi buta ku sudah duduk sendiri di bangku taman. Mereka menyuruhku berjalan-jalan dan menghirup udara pagi. Tapi, kalau sendirian aja kan nggak asyik, sepi !!. Ku mulai berjalan sambil melihat-lihat tumbuhan hijau yang begitu indah dan segar. Hatiku bertanya, akankah ku bisa seperti mereka untuk waktu yang lebih lama?
Langkah kaki ku terhenti setelah menyadari bahwa di hadapanku telah berdiri seseorang yang selalu menemaniku. Badan proporsional, hitam manis, dipadu dengan kacamata frame hitam yang membuatnya mempesona. Yup, namanya Dokter Resya.
“Hmm... hy, koq berjalan sendirian saja di sini?”
“ng... itu.. tadi disuruh sama suster jalan pagi, tapi nggak di temenin...”
“Ow, begitu. Boleh saya temani??”
“hhmm.. boleh kalau dokter nggak keberatan.”
“Oh, nggak koq, saya nggak bawa barang apa-apa jadi nggak keberatan, haha”
“he---he--”
“Oya, bagaimana keadaan kamu sekarang? Apakah kamu merasa ada perkembangan?”
“ . . . ”
Aku hidup sebagai salah satu dari sekian banyak anggota Panti Asuhan Azzahra. Panti asuhan yang menampung anak-anak terlantar khususnya yang mengidap suatu penyakit. Aku bukan terlantar tapi ku dikirim oleh ayahku sepeninggal Ibu. Dia menikah kembali entah dengan siapa. Dia mungkin sibuk dengan keluarga barunya dan tidak tahan menjaga anak yang penyakitan sepertiku.
Sudah 6 bulan ini ku menjalani perawatan karena sakit Leukimia stadium akhir. Dan Dokter Resya adalah salah satu dokter yang ada di panti asuhan ini. Dia adalah dokter termuda disini. Jasanya sangat diperlukan karena diakui sangat susah untuk dapat mempekerjakan dokter di panti ini dikarenakan oleh gaji yang tidak syncrone dengan gaji dokter pada umumnya. Tapi, beruntung Dokter Resya dapat memaklumi itu dan mau dibayar berapapun. Sungguh dermawan.
“Ngomong-ngomong, pagi ini kamu sudah minum obat??”
“Belum, dokter.”
“HHmm, yasudah, saya antar kamu ke ruang perawatan ya, supaya saya dapat mengawasi kamu minum obat, okey!”
“Oh, ya... baiklah dokter. Terimakasih.”
Jantungku berdetak dengan kencang. Aku selalu gugup dan grogi jika diantar oleh Dokter Resya ke ruang perawatan. Sudah lama perasaan ini kurasakan, ku merasa Dokter Resya adalah malaikat pelindungku yang turun dari langit. Ku merasa dia memberikan kasih sayangnya yang lebih kepadaku dari pada anak-anak panti yang lain.
*****
“Eh, liat tu deh. Lagi-lagi Resya mengantar anak itu ke ruang perawatan. Emangnya apa sich yang menarik dari cewek sekarat itu, mengapa Resya begitu sangat perhatian??? Setiap hari dia terus menemani cewek itu. ”
“Hah, sudahlah. Kamu kayak nggak tau Resya aja. Dia kan melankolis, paling nggak bisa liat orang yang hampir mati. Hahaha...”
“Haha, bener juga kamu Win. Betewe, kamu nggak cemburu liat Resya dekat-dekat terus dengan cewek itu???”
“Dikit sich, tapi untuk kali ini biarin aja dulu, toh bentar lagi tu cewek bakal metong. Hmm..”
Wini dan Stefi, dua orang perawat yang ku dengar dari gosip-gosipnya para pasien, perawat-perawat paling rumpi dan genit khususnya sama Dokter Resya. Di depan Dokter Resya, mereka bisa bersifat baik banget kayak malaikat tetapi setelah Dokter Resya pergi, wadoouuhh galaknya mintak ampun melebihi galaknya Bulldog. Hahaayy...!!!
Nggak heran kalau mereka begitu dekat dengan Dokter Resya, mereka berasal dari rumah sakit yang sama sebelum mereka diutus untuk menjadi perawat di panti asuhan ini.
***
“Selamat pagi, Dokter Resya.”
“Pagi, suster Wini dan suster Stefi. Pagi-pagi seperti ini, ada apa ya??”
“Tidak ada apa-apa, kami hanya ingin menemani dokter mengawasi ... si...”
“Bunga ...?”
“Oh ya, mengawasi Bunga minum obat karena di panti ini kan Bunga lah yang sakitnya paling parah, dokter.”
“Hmm.. begitu ya. Terimakasih perhatiannya para suster. Saya bisa mengawasinya sendiri. Silahkan kalian awasi pasien-pasien yang lain.”
“Tapi, dokter ...”
“Pasien yang lain membutuhkan anda suster. Saya tidak ingin sakitnya Bunga tambah parah kalau kalian tetap ada disini.”
“Baiklah, dokter. Kami permisi dulu.”
Suster Wini dan Stefi pergi dengan wajah merah, entah karena marah oleh perkataan Dokter Resya yang terkesan mengusir atau karena malu. Mereka melangkah dengan hentakan kaki yang cukup keras, tapi itu tidak mengganggu Dokter Resya. Dia hanya tersenyum kecil melihat sikap suster-suster tersebut.
“Aaarrghh.. sialan banget tu Resya. Dia mempermalukan gw didepan cewek sekarat itu!!!!!”
“Iya, gw curiga deh hubungan antara Resya dengan cewek sekarat itu. Ngapain juga dia bela-belain cewek kayak gitu.”
“Bener juga lo stef!! Gw harus cari tau, hubungan apa antara mereka berdua.”
*****
Di ruang perawatan, Dokter Resya masih mengawasiku. Yah, sebagai orang sakit, aku tak bisa minum obat tanpa pengawasan. Dosisnya .... tabletnya ... pilnya ... ini nya ... itu nya ..... dan nya nya nya lainnnya ... harus diawasi langsung sama ahlinya. :p
“Sudahkan, saya mau pergi mencheck kondisi pasien panti yang lain. Saya ragu kalau suster-suster yang tadi itu bisa melakukan tugasnya dengan baik.”
“Hehe, iya dokter, silahkan. Terimakasih, dok.”
Dokter Resya tersenyum mendengar perkataanku, matanya melihatku dengan lembut, tangannya mengelus kepalaku dan berkata, “Sama-sama, bunga. Istirahat yang banyak, ya.”
“I... iy .. iya dokter.”
***
“Hhhmm... habis minum obat koq rasanya ngantuk banget ya. Efek sampingnya kali ya! Hhooaammm. Lebih baik ke kamar, bobok sekalian istirahat. Gila aja pagi-pagi buta sudah disuruh jalan-jalan sama suster-suster genit itu, capek tau!”
Berjalan perlahan di koridor, sendirian. Tiba-tiba tanganku ditarik paksa oleh beberapa orang yang tentu sangat aku kenal. Mereka mendekap mulutku dan menyeretku ke sebuah ruangan, gudang...!!
“HAH!!! Suster Wini ... Suster Stefi ... ada apa ini? Mengapa kalian membawaku ke tempat ini?”
“Haaalah, diam lo. Lo seneng kan tadi Resya berhasil mempermalukan gw di depan lo, HAH!!! SENENG KAN!!!”
“Maksudnya?”
“Yee... sok begok lagi lo. Gw curiga, jangan-jangan lo dan Resya ada hubungan spesial, ya. JAWAB!!!”
“Nggak ... nggak ada koq suster, sumpah”
“Gw nggak percaya, tapi mengapa Resya begitu perhatian banget sama lo, hah???”
“Hmm.. anu ... itu saya nggak tau suster.”
“Nggak tau ... nggak tau ... lama-lama gw muak liat tampang lo ya. Hmm... mungkin dengan lo menetap di sini semalam aja, bisa ngubah sedikit dari pandangan gw di panti asuhan ini. Kalau nggak ada Resya, gw juga ogah kali bekerja di panti jelek kayak gini, tau lo!!!”
Dengan cepat Suster Wini dan Suster Stefi mengunci ku dari luar gudang itu. Gudang kotor penuh debu hampa udara, gelap dan dingin.
“Suster... bukak suster ... Bunga takut. Tolong, buka suster... toloong ...”
Badanku lemas, aku terduduk di depan pintu. Aku nggak kuat debu. Dadaku sesak. Kepalaku pusing, pandanganku kabur dan badanku ambruk.
***
Jam makan siang di panti asuhan sudah hampir selesai, tetapi Dokter Resya terlihat bingung mencari sesuatu. Dia terus mondar-mandir dari depan pintu panti ke ruang makan. Tetapi gerak geriknya belum juga tenang. Terlihat dari wajahnya yang mencemaskan sesuatu.
“Hmm... sudah jam segini mengapa bunga belum datang juga ke ruang makan? Kemana sebenarnya anak itu?”
“Sedang mencari siapa, dokter?”
“Oh, Ibu kepala. Begini bu, dari tadi saya tidak melihat Bunga, tidak di depan ataupun di ruang makan, bu.”
“Bunga? Apakah sudah dokter cari di kamarnya?”
“Belum, bu.”
“Ya sudah, biar saya yang minta perawat lain untuk mencari bunga di kamar. Dokter tolong tetap awasi anak-anak di sini.”
“Baik, terimakasih bu.”
*****
Di halaman belakang panti, Wini dan Stefi seperti merayakan keberhasilan mereka menyekap Bunga dan membuat geger seisi panti.
“Eh win, lo liat nggak seisi panti pada pusing nyariin si Bunga.”
“Hahaha... biarin aja. Mau cari kemana juga nggak bakalan ketemu. Kunci gudang kan ada sama kita. Orang-orang nggak bakal mencari sampai kesana.”
“Tapi win, kalau tu anak mati, gimana?”
“Mati? Ya, nggak mungkin lah. Kan Cuma dikunci semalam aja di gudang. Tengah malam nanti, kita balikin dia ke kamarnya. Amankan!!”
“APA YANG KALIAN BILANG!!!”
Tiba-tiba suara Resya memecah perbincangan Wini dan Stefi. Ternyata, dengan tidak sengaja, Resya mendengar perbincangan mereka berdua. Mereka sangat terkejut dan wajah mereka berubah menjadi ketakutan. Dengan tegas, Resya menghampiri mereka dan mencengkram erat kerah baju para suster itu.
“Apa yang telah kalian lakukan dengan Bunga?”
“Dokter... itu ...”
“JAWAB!!”
“Bunga sekarang ada di ...”
“BUNGA DITEMUKAN... PANGGIL AMBULANCE!!”
Teriakan dari salah satu satpam panti menunjukkan bahwa Bunga telah ditemukan. Bunga ditemukan dalam keadaan pingsan. Badannya terkulai, napasnya tak terdengar, denyut nadinya lemah dan wajahnya pucat pasi. Dengan cepat satpam tersebut menggendong Bunga ke dalam Ambulance.
Amarah Resya memuncak melihat keadaan Bunga. Dia menatap kedua suster itu dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. Dia melepas cengkeramannya dan mendorong kuat suster-suster itu hingga jatuh tersungkur.
“Ingat, urusan kalian dengan gw belum selesai. Kalau terjadi apa-apa dengan Bunga. AWAS!!”
“Heh, lo pikir gw takut sama lo hah!!”
“Jangan coba-coba kabur dari panti asuhan ini, lo berdua ikut gw. SEKARANG!!”
Resya membawa Wini dan Stefi ke gudang tempat dimana Bunga disekap dan mengurung mereka di sana. Setelah itu Resya bergegas pergi ke rumah sakit. Jantung Resya berdetak sangat kencang. Dia sangat mencemaskan keadaan Bunga. Tanpa sadar dia melaju dengan kecepatan tinggi. Saat itulah dia teringat dengan peristiwa beberapa bulan lalu sebelum dia masuk ke Panti Asuhan Azzahra ...
“Tolong kamu jaga Bunga dengan sebaik mungkin di sana. Dia sudah tidak bisa bertahan lama lagi”
“Mengapa tidak anda sendiri yang merawatnya, anda kan ayahnya.”
“Kamu tau kan apa yang sedang saya lakukan sekarang, secara tidak langsung saya sudah merawat Bunga.”
“Mengapa harus saya??”
“Mengapa? Itu karena Ibumu. Selain Bunga, saya juga punya tanggung jawab terhadap Ibumu.”
“Ibu...? Heh, sampai kapanpun saya tidak akan merestui Ibuku menikah lagi dengan anda dan saya tidak akan pernah mengakui anda sebagai ayah saya.”
“Baiklah, saya dapat menerima penolakanmu itu, tapi setidaknya kamu melakukan semua permintaan saya terhadap Bunga itu demi kebahagiaan Ibumu.”
“Kebahagiaan Ibu??”
“Tidakkah kamu tau, Ibumu sangat menginginkan kamu menjadi Dokter yang profesional. Apa salahnya kamu menjaga adikmu sendiri. Walaupun Bunga adalah adik tirimu.”
***
Setibanya Resya di rumah sakit, Resya langsung menuju UGD. Di ruang tunggu, Resya bertemu dengan Pak asep−satpam panti.
“Pak Asep, bagaimana Bunga?”
“Dokter belum keluar dari ruang UGD, pak.”
“Maaf, Pak Asep, bapak kok bisa menemukan Bunga di gudang??”
“Oh, itu pak, sewaktu seluruh isi panti sibuk mencari non Bunga, ada orang yang bilang sama saya bahwa ada 2 orang yang masuk ke kantor satpam. Disitu saya curiga. Saya langsung memeriksa barang-barang jikalau ada yang hilang. Ternyata tidak ada, hanya saja saya tidak menemukan kunci gudang, pak.”
“Hmm.. begitu ya pak. Terimakasih banyak ya, pak. Sekarang bapak kembali saja ke panti. Bunga, biar saya saja yang menjaga di sini.”
***
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD. “Apakah anda saudara dari Bunga?”. Dokter itu menghela napas yang panjang dan terdiam sejenak, “ Maaf, kami sudah mencoba semampu kami tetapi kami tidak dapat menyelamatkan nyawa Bunga.”
Tubuh Resya tiba-tiba kaku mendengar pernyataan dari dokter itu, dengan terbata-bata dia berkata, “Tetapi ... kenapa dokter?”
“Hah... Bunga sudah berada di stadium akhir penyakitnya. Kondisi tubuhnya sudah sangat lemah. Ditambah lagi dengan perlakuan keras yang dia alami, tentu kemampuannya untuk bertahan sudah sangat berkurang karena tubuhnya semakin melemah. Bunga adalah gadis yang kuat. Saya terkejut ketika mengetahui Bunga bisa bertahan sejauh ini. Mungkin, ini batas kemampuan Bunga untuk bertahan. Bersabarlah!” Dokter itu mengakhiri penjelasannya dan beranjak pergi meninggalkan Resya.
Dengan langkah pelan, Resya mendekati tubuh Bunga yang telah terbujur kaku tanpa nyawa di ruang UGD. Air matanya mulai menetes. Dia menunduk mendekati wajah Bunga, dan berbisik ke telinga Bunga.
“Maaf ... maafkan ... kakak ... Bunga.” Resya menangis terisak dan memeluk jasad Bunga erat-erat dan terakhir dia mengecup lembut kening Bunga. Dia melihat jasad Bunga berlalu dihadapanya untuk dibawa ke rumah duka.
Resya terduduk di ruangan kosong itu, dan menangis sejadi-jadinya. Dia selalu menjulurkan tangannya ke arah jasad Bunga yang telah berlalu. Tiba-tiba tangannya mengepal dengan kuat. Dia teringat dengan 2 suster yang dia kurung di panti asuhan.
“Kurang ajar! Kalian akan dapat balasannya.” Resya dengan cepat meraih ponsel yang ada di kantong celananya. “Halo, kantor polisi. Saya mau melaporkan tindak penganiayaan dan pembunuhan di Panti Asuhan Azzahra!!!”
END
Langkah kaki ku terhenti setelah menyadari bahwa di hadapanku telah berdiri seseorang yang selalu menemaniku. Badan proporsional, hitam manis, dipadu dengan kacamata frame hitam yang membuatnya mempesona. Yup, namanya Dokter Resya.
“Hmm... hy, koq berjalan sendirian saja di sini?”
“ng... itu.. tadi disuruh sama suster jalan pagi, tapi nggak di temenin...”
“Ow, begitu. Boleh saya temani??”
“hhmm.. boleh kalau dokter nggak keberatan.”
“Oh, nggak koq, saya nggak bawa barang apa-apa jadi nggak keberatan, haha”
“he---he--”
“Oya, bagaimana keadaan kamu sekarang? Apakah kamu merasa ada perkembangan?”
“ . . . ”
Aku hidup sebagai salah satu dari sekian banyak anggota Panti Asuhan Azzahra. Panti asuhan yang menampung anak-anak terlantar khususnya yang mengidap suatu penyakit. Aku bukan terlantar tapi ku dikirim oleh ayahku sepeninggal Ibu. Dia menikah kembali entah dengan siapa. Dia mungkin sibuk dengan keluarga barunya dan tidak tahan menjaga anak yang penyakitan sepertiku.
Sudah 6 bulan ini ku menjalani perawatan karena sakit Leukimia stadium akhir. Dan Dokter Resya adalah salah satu dokter yang ada di panti asuhan ini. Dia adalah dokter termuda disini. Jasanya sangat diperlukan karena diakui sangat susah untuk dapat mempekerjakan dokter di panti ini dikarenakan oleh gaji yang tidak syncrone dengan gaji dokter pada umumnya. Tapi, beruntung Dokter Resya dapat memaklumi itu dan mau dibayar berapapun. Sungguh dermawan.
“Ngomong-ngomong, pagi ini kamu sudah minum obat??”
“Belum, dokter.”
“HHmm, yasudah, saya antar kamu ke ruang perawatan ya, supaya saya dapat mengawasi kamu minum obat, okey!”
“Oh, ya... baiklah dokter. Terimakasih.”
Jantungku berdetak dengan kencang. Aku selalu gugup dan grogi jika diantar oleh Dokter Resya ke ruang perawatan. Sudah lama perasaan ini kurasakan, ku merasa Dokter Resya adalah malaikat pelindungku yang turun dari langit. Ku merasa dia memberikan kasih sayangnya yang lebih kepadaku dari pada anak-anak panti yang lain.
*****
“Eh, liat tu deh. Lagi-lagi Resya mengantar anak itu ke ruang perawatan. Emangnya apa sich yang menarik dari cewek sekarat itu, mengapa Resya begitu sangat perhatian??? Setiap hari dia terus menemani cewek itu. ”
“Hah, sudahlah. Kamu kayak nggak tau Resya aja. Dia kan melankolis, paling nggak bisa liat orang yang hampir mati. Hahaha...”
“Haha, bener juga kamu Win. Betewe, kamu nggak cemburu liat Resya dekat-dekat terus dengan cewek itu???”
“Dikit sich, tapi untuk kali ini biarin aja dulu, toh bentar lagi tu cewek bakal metong. Hmm..”
Wini dan Stefi, dua orang perawat yang ku dengar dari gosip-gosipnya para pasien, perawat-perawat paling rumpi dan genit khususnya sama Dokter Resya. Di depan Dokter Resya, mereka bisa bersifat baik banget kayak malaikat tetapi setelah Dokter Resya pergi, wadoouuhh galaknya mintak ampun melebihi galaknya Bulldog. Hahaayy...!!!
Nggak heran kalau mereka begitu dekat dengan Dokter Resya, mereka berasal dari rumah sakit yang sama sebelum mereka diutus untuk menjadi perawat di panti asuhan ini.
***
“Selamat pagi, Dokter Resya.”
“Pagi, suster Wini dan suster Stefi. Pagi-pagi seperti ini, ada apa ya??”
“Tidak ada apa-apa, kami hanya ingin menemani dokter mengawasi ... si...”
“Bunga ...?”
“Oh ya, mengawasi Bunga minum obat karena di panti ini kan Bunga lah yang sakitnya paling parah, dokter.”
“Hmm.. begitu ya. Terimakasih perhatiannya para suster. Saya bisa mengawasinya sendiri. Silahkan kalian awasi pasien-pasien yang lain.”
“Tapi, dokter ...”
“Pasien yang lain membutuhkan anda suster. Saya tidak ingin sakitnya Bunga tambah parah kalau kalian tetap ada disini.”
“Baiklah, dokter. Kami permisi dulu.”
Suster Wini dan Stefi pergi dengan wajah merah, entah karena marah oleh perkataan Dokter Resya yang terkesan mengusir atau karena malu. Mereka melangkah dengan hentakan kaki yang cukup keras, tapi itu tidak mengganggu Dokter Resya. Dia hanya tersenyum kecil melihat sikap suster-suster tersebut.
“Aaarrghh.. sialan banget tu Resya. Dia mempermalukan gw didepan cewek sekarat itu!!!!!”
“Iya, gw curiga deh hubungan antara Resya dengan cewek sekarat itu. Ngapain juga dia bela-belain cewek kayak gitu.”
“Bener juga lo stef!! Gw harus cari tau, hubungan apa antara mereka berdua.”
*****
Di ruang perawatan, Dokter Resya masih mengawasiku. Yah, sebagai orang sakit, aku tak bisa minum obat tanpa pengawasan. Dosisnya .... tabletnya ... pilnya ... ini nya ... itu nya ..... dan nya nya nya lainnnya ... harus diawasi langsung sama ahlinya. :p
“Sudahkan, saya mau pergi mencheck kondisi pasien panti yang lain. Saya ragu kalau suster-suster yang tadi itu bisa melakukan tugasnya dengan baik.”
“Hehe, iya dokter, silahkan. Terimakasih, dok.”
Dokter Resya tersenyum mendengar perkataanku, matanya melihatku dengan lembut, tangannya mengelus kepalaku dan berkata, “Sama-sama, bunga. Istirahat yang banyak, ya.”
“I... iy .. iya dokter.”
***
“Hhhmm... habis minum obat koq rasanya ngantuk banget ya. Efek sampingnya kali ya! Hhooaammm. Lebih baik ke kamar, bobok sekalian istirahat. Gila aja pagi-pagi buta sudah disuruh jalan-jalan sama suster-suster genit itu, capek tau!”
Berjalan perlahan di koridor, sendirian. Tiba-tiba tanganku ditarik paksa oleh beberapa orang yang tentu sangat aku kenal. Mereka mendekap mulutku dan menyeretku ke sebuah ruangan, gudang...!!
“HAH!!! Suster Wini ... Suster Stefi ... ada apa ini? Mengapa kalian membawaku ke tempat ini?”
“Haaalah, diam lo. Lo seneng kan tadi Resya berhasil mempermalukan gw di depan lo, HAH!!! SENENG KAN!!!”
“Maksudnya?”
“Yee... sok begok lagi lo. Gw curiga, jangan-jangan lo dan Resya ada hubungan spesial, ya. JAWAB!!!”
“Nggak ... nggak ada koq suster, sumpah”
“Gw nggak percaya, tapi mengapa Resya begitu perhatian banget sama lo, hah???”
“Hmm.. anu ... itu saya nggak tau suster.”
“Nggak tau ... nggak tau ... lama-lama gw muak liat tampang lo ya. Hmm... mungkin dengan lo menetap di sini semalam aja, bisa ngubah sedikit dari pandangan gw di panti asuhan ini. Kalau nggak ada Resya, gw juga ogah kali bekerja di panti jelek kayak gini, tau lo!!!”
Dengan cepat Suster Wini dan Suster Stefi mengunci ku dari luar gudang itu. Gudang kotor penuh debu hampa udara, gelap dan dingin.
“Suster... bukak suster ... Bunga takut. Tolong, buka suster... toloong ...”
Badanku lemas, aku terduduk di depan pintu. Aku nggak kuat debu. Dadaku sesak. Kepalaku pusing, pandanganku kabur dan badanku ambruk.
***
Jam makan siang di panti asuhan sudah hampir selesai, tetapi Dokter Resya terlihat bingung mencari sesuatu. Dia terus mondar-mandir dari depan pintu panti ke ruang makan. Tetapi gerak geriknya belum juga tenang. Terlihat dari wajahnya yang mencemaskan sesuatu.
“Hmm... sudah jam segini mengapa bunga belum datang juga ke ruang makan? Kemana sebenarnya anak itu?”
“Sedang mencari siapa, dokter?”
“Oh, Ibu kepala. Begini bu, dari tadi saya tidak melihat Bunga, tidak di depan ataupun di ruang makan, bu.”
“Bunga? Apakah sudah dokter cari di kamarnya?”
“Belum, bu.”
“Ya sudah, biar saya yang minta perawat lain untuk mencari bunga di kamar. Dokter tolong tetap awasi anak-anak di sini.”
“Baik, terimakasih bu.”
*****
Di halaman belakang panti, Wini dan Stefi seperti merayakan keberhasilan mereka menyekap Bunga dan membuat geger seisi panti.
“Eh win, lo liat nggak seisi panti pada pusing nyariin si Bunga.”
“Hahaha... biarin aja. Mau cari kemana juga nggak bakalan ketemu. Kunci gudang kan ada sama kita. Orang-orang nggak bakal mencari sampai kesana.”
“Tapi win, kalau tu anak mati, gimana?”
“Mati? Ya, nggak mungkin lah. Kan Cuma dikunci semalam aja di gudang. Tengah malam nanti, kita balikin dia ke kamarnya. Amankan!!”
“APA YANG KALIAN BILANG!!!”
Tiba-tiba suara Resya memecah perbincangan Wini dan Stefi. Ternyata, dengan tidak sengaja, Resya mendengar perbincangan mereka berdua. Mereka sangat terkejut dan wajah mereka berubah menjadi ketakutan. Dengan tegas, Resya menghampiri mereka dan mencengkram erat kerah baju para suster itu.
“Apa yang telah kalian lakukan dengan Bunga?”
“Dokter... itu ...”
“JAWAB!!”
“Bunga sekarang ada di ...”
“BUNGA DITEMUKAN... PANGGIL AMBULANCE!!”
Teriakan dari salah satu satpam panti menunjukkan bahwa Bunga telah ditemukan. Bunga ditemukan dalam keadaan pingsan. Badannya terkulai, napasnya tak terdengar, denyut nadinya lemah dan wajahnya pucat pasi. Dengan cepat satpam tersebut menggendong Bunga ke dalam Ambulance.
Amarah Resya memuncak melihat keadaan Bunga. Dia menatap kedua suster itu dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. Dia melepas cengkeramannya dan mendorong kuat suster-suster itu hingga jatuh tersungkur.
“Ingat, urusan kalian dengan gw belum selesai. Kalau terjadi apa-apa dengan Bunga. AWAS!!”
“Heh, lo pikir gw takut sama lo hah!!”
“Jangan coba-coba kabur dari panti asuhan ini, lo berdua ikut gw. SEKARANG!!”
Resya membawa Wini dan Stefi ke gudang tempat dimana Bunga disekap dan mengurung mereka di sana. Setelah itu Resya bergegas pergi ke rumah sakit. Jantung Resya berdetak sangat kencang. Dia sangat mencemaskan keadaan Bunga. Tanpa sadar dia melaju dengan kecepatan tinggi. Saat itulah dia teringat dengan peristiwa beberapa bulan lalu sebelum dia masuk ke Panti Asuhan Azzahra ...
“Tolong kamu jaga Bunga dengan sebaik mungkin di sana. Dia sudah tidak bisa bertahan lama lagi”
“Mengapa tidak anda sendiri yang merawatnya, anda kan ayahnya.”
“Kamu tau kan apa yang sedang saya lakukan sekarang, secara tidak langsung saya sudah merawat Bunga.”
“Mengapa harus saya??”
“Mengapa? Itu karena Ibumu. Selain Bunga, saya juga punya tanggung jawab terhadap Ibumu.”
“Ibu...? Heh, sampai kapanpun saya tidak akan merestui Ibuku menikah lagi dengan anda dan saya tidak akan pernah mengakui anda sebagai ayah saya.”
“Baiklah, saya dapat menerima penolakanmu itu, tapi setidaknya kamu melakukan semua permintaan saya terhadap Bunga itu demi kebahagiaan Ibumu.”
“Kebahagiaan Ibu??”
“Tidakkah kamu tau, Ibumu sangat menginginkan kamu menjadi Dokter yang profesional. Apa salahnya kamu menjaga adikmu sendiri. Walaupun Bunga adalah adik tirimu.”
***
Setibanya Resya di rumah sakit, Resya langsung menuju UGD. Di ruang tunggu, Resya bertemu dengan Pak asep−satpam panti.
“Pak Asep, bagaimana Bunga?”
“Dokter belum keluar dari ruang UGD, pak.”
“Maaf, Pak Asep, bapak kok bisa menemukan Bunga di gudang??”
“Oh, itu pak, sewaktu seluruh isi panti sibuk mencari non Bunga, ada orang yang bilang sama saya bahwa ada 2 orang yang masuk ke kantor satpam. Disitu saya curiga. Saya langsung memeriksa barang-barang jikalau ada yang hilang. Ternyata tidak ada, hanya saja saya tidak menemukan kunci gudang, pak.”
“Hmm.. begitu ya pak. Terimakasih banyak ya, pak. Sekarang bapak kembali saja ke panti. Bunga, biar saya saja yang menjaga di sini.”
***
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD. “Apakah anda saudara dari Bunga?”. Dokter itu menghela napas yang panjang dan terdiam sejenak, “ Maaf, kami sudah mencoba semampu kami tetapi kami tidak dapat menyelamatkan nyawa Bunga.”
Tubuh Resya tiba-tiba kaku mendengar pernyataan dari dokter itu, dengan terbata-bata dia berkata, “Tetapi ... kenapa dokter?”
“Hah... Bunga sudah berada di stadium akhir penyakitnya. Kondisi tubuhnya sudah sangat lemah. Ditambah lagi dengan perlakuan keras yang dia alami, tentu kemampuannya untuk bertahan sudah sangat berkurang karena tubuhnya semakin melemah. Bunga adalah gadis yang kuat. Saya terkejut ketika mengetahui Bunga bisa bertahan sejauh ini. Mungkin, ini batas kemampuan Bunga untuk bertahan. Bersabarlah!” Dokter itu mengakhiri penjelasannya dan beranjak pergi meninggalkan Resya.
Dengan langkah pelan, Resya mendekati tubuh Bunga yang telah terbujur kaku tanpa nyawa di ruang UGD. Air matanya mulai menetes. Dia menunduk mendekati wajah Bunga, dan berbisik ke telinga Bunga.
“Maaf ... maafkan ... kakak ... Bunga.” Resya menangis terisak dan memeluk jasad Bunga erat-erat dan terakhir dia mengecup lembut kening Bunga. Dia melihat jasad Bunga berlalu dihadapanya untuk dibawa ke rumah duka.
Resya terduduk di ruangan kosong itu, dan menangis sejadi-jadinya. Dia selalu menjulurkan tangannya ke arah jasad Bunga yang telah berlalu. Tiba-tiba tangannya mengepal dengan kuat. Dia teringat dengan 2 suster yang dia kurung di panti asuhan.
“Kurang ajar! Kalian akan dapat balasannya.” Resya dengan cepat meraih ponsel yang ada di kantong celananya. “Halo, kantor polisi. Saya mau melaporkan tindak penganiayaan dan pembunuhan di Panti Asuhan Azzahra!!!”
END
Langganan:
Postingan (Atom)