Free Monkey ani Cursors at www.totallyfreecursors.com
My Story Life Space: PLAYBOY KAMPUS

Who am I ?

Foto saya
Buat apa harus MENIRU ORANG LAIN untuk bisa menjadi TERKENAL... #just be the way U r --> Elo ya Elo -- Gw ya Gw <--

Kamis, 08 Maret 2012

PLAYBOY KAMPUS

Liburan semester 1 ini sangat membosankan. Raya hanya menghabiskan waktu di rumah ... rumah ... dan rumah. Mau pergi main keluar tapi dengan siapa? Mau kemana?. Beginilah nasib kalau nggak punya pacar, kesepian. Hihihihi... . Untung ada notebook and modem punya kakaknya di rumah, jadi kerjaannya di rumah ya onliiiiinnneeee aja terus. Update status facebook, comment, send wall, etc.
“Eh, ada yang ngirim wall nih... oh dari bg Arel toh...”
Arel @ apa kabar Raya, lagi dimana??
Raya @ baik clalu, lagi di rumah ja bg. Oia, gmn liburannya bg??
Arel @ libur??? Hmmm... asyik2 aja. Kalau kmu gmn?
Raya @ ngebosenin bg, di rumah aja.
Arel @ haha... pergi main kek, ma pacar gtu ...!!
Ngomong-ngomong soal pacar, Raya sudah pernah pacaran 2 kali semenjak SMA dengan 2 orang yang karakternya 180° sangat berbeda, tapi tidak ada yang umurnya sampai 1 tahun. Semenjak itu, Raya tidak lagi mau pacaran. Capek!!.
Arel adalah senior dari fakultas seberang. Mereka belum pernah bertemu lho. Pertama liat Arel pada waktu OSPEK, dia adalah salah satu senior pembimbing di kelompok Raya. Karena dia baik, makanya Raya cari nama FB nya. Eits, ada juga senior favorit namanya Dio. Wah, ternyata penggemar mereka bwaaannyyaakkk banget. Ckckck...
***
Di tempat lain, Dio juga lagi sibuk online tuh. Dia juga dari fakultas yang sama dengan Arel. Mempunyai wajah tampan, kulit sawo matang, hidung mancung, nggak heran kalau waktu OSPEK, dia punya banyak penggemar. Beda dengan Arel yang kurus ceking dan putih. Tapi, Raya punya sebutan lain buat Dio yaitu playboy!!.
“Hmm... si Arel wall-wall-an sama syapa lagi tuch?? Asyik banget kayaknya.” Dio langsung buka profilnya Arel, dengan pelan dia berkata, “Lagi-lagi sama ‘Raya Honami Genda” Kira-kira dia anaknya gimana ya? Liat sekilas kayaknya cantik deh.”
Dio langsung menutup profil Arel dan membuka profil Raya, “wah, dari fakultas sebelah ternyata. Pp nya bagus. Aslinya pasti lebih cantik. He—he-- .” Dio nyengir-nyengir sendiri, terlihat dari raut wajahnya seperti merencanakan sesuatu.
***
Keesokan paginya di kampus, Dio dengan sengaja menghampiri Arel yang lagi duduk sendiri di taman. “Woi!!! Hehehe ...” Tubuh Arel terlonjak tapi dia hanya diam saja, Arel hanya melirik Dio sekilas dan kembali menatap komik kesayangannya.
“Haaahh... Pagi-pagi dah gangguin suasana orang aja lo. Nggak liat gw lagi serius, klimaks ne ceritanya!” Arel ngomel-ngomel tapi tidak menatap Dio, dia tetap menunduk melihat komik yang dia baca. Dio jengkel, dengan cepat dia merebut komik Arel.
“heh, kalau orang dateng tu disambut dikit kek, dasar!!”
“haaahh... mau apa sich lo, siniin komik kesayangan gw.”
Dio tidak mendengar, dia langsung menyembunyikan komik itu di belakang punggungnya dan langsung bertanya, “Hmm, gw boleh tau nggak, yang namanya Raya Honami Genda tu siapa sich??” Arel memolototin Dio, “Lo mau tau?? Kembaliin dulu komik gw!” Dio mencibir dan langsung mengembalikan komik Arel, “Raya tu anak fakultas sebelah. Dia itu satu dari sekian banyak junior yang kita bimbing waktu OSPEK kemaren. Emangnya kenapa?”
“Wah, berarti dia tau gw donk! Lo punya nomor hapenya nggak? Minta donk.”
“Buat apa? Mo lo goda ya. Heh, nggak bakal bisa. Si Raya tu dah kebal sama playboy kayak lo.”
“Masa’ sih??? Tau nggak, setiap liat kalian berdua wall-wall-an, kayaknya anaknya asyik. Lagian mana ada yang tahan sama pesona gw, ya nggak?” Dio mengangkat dagunya dengan sombong di depan Arel.
“Songong lo ! Coba aja kalau bisa, nih ... gw kasih nomor hapenya.” Arel menyodorkan ponselnya.
“Ngomong-ngomong aslinya dia cantik nggak?” Arel menengadahkan wajahnya ke langit, sambil berfikir dia berkata, “Gimana ya? Kalau diliat dari Ppnya sich lumayan manis. Gw belum ketemu yang aslinya tuch!”
Dio menepuk-nepuk bahu Arel dan menarik Arel sambil berbisik, “Gw pengen ketemu sama Raya, lo bantuin gw yah!!”
Dengan wajah bingung Arel nyeletuk, “Lho kok gw? Nomor hapenya kan lo dah dapet. Tinggal telepon atau sms, ajak ketemuan Rayanya kok harus minta bantuan gw???”
“Yee... yang dekat ma Raya kan lo, ntar dia nggak percaya kalau yang ngajak ketemuan tu gw, secara gw cowok paling keren di sini, hehehehe... Yang ada gw dicuekin.”
Sebenarnya Arel tidak kasihan melihat wajah penuh harap dari Dio. Dia hanya sedikit terganggu dengan celotehan pagi-paginya Dio. Saking jengkelnya, Arel langsung menganggukkan kepalanya tanda bersedia membantu Dio.
Malamnya, Arel memikirkan bagaimana cara mempertemukan Dio dan Raya, diamana... kapan... dan jam berapa. Arel memutuskan membuka notebooknya dan online untuk sementara. Yah, tepat sekali waktunya. Arel melihat Raya juga lagi on. Arel memulai untuk chat.
Arel @ rrrrraaaayyaaaaaa........
Raya @ ya .... bg ....
Arel @ besok sibuk nggak?
Raya @ hmm... kenapa tu bg???????
Arel @ ada yang mau ketemu ma kamu, temen bg sich...
Raya @ hah!!! Syapa bg?
Arel @ ada lah pokoknya. Besok kita ketemu didepan bank kampus jam 11, key.
Raya @ ya bg tapi ------
Belum sempat mengetik balasan chat, Arel tiba-tiba off. Raya kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati, “Emangnya ada apa sich? Siapa yang mau ketemu gw?” Raya hanya menatap layar notebooknya dengan wajah bingung. Di kepalanya banyak tanda tanya yang menari-nari mengelilingi pikirannya. Dia memutuskan untuk tidur dan tidak memikirkannya lagi.
***
Pukul 10.50 am keesokan harinya, Raya sudah berdiri di depan bank kampus, sendirian. Raya celingak celinguk liat kiri kanan depan belakang, mana tau liat batang idung Arel dari kejauhan. Tapi tidak ada tanda-tanda seseorang yang mendekatinya. Orang-orang hanya lalu lalang melewatinya dengan cuek seperti tidak sadar ada dirinya berdiri disitu. Raya menatap jam tangannya dan sudah jam 11 tepat tapi orang itu tetap tidak menampakkan diri.
Raya memutuskan untuk menelpon Arel, tapi ketika akan memencet keypad lock, seseorang menyentuh bahu kirinya, “Raya, ya?” Raya terkejut. Pelan-pelan menolehkan kepalanya ke samping kiri. Bukannya Arel yang dia temui tapi dia melihat wajah yang sangat familiar di matanya. Raya pernah melihatnya pada waktu OSPEK. Dia adalah senior paling favorit—Dio.
Raya terbata-bata tak sanggup melihat wajah Dio secara langsung karena gugup, “Ha! Bg Dio?? Koq bisa di sini??” Dio mengeluarkan senyumnya yang paling manis dan berkata, “Hmm... bukankah kita janjian di sini ya?” Dio terdiam sejenak mengingat sesuatu, “O iya, maksudnya Arel membantu gw ketemu sama lo.”
“Bg Arel??” Wajah Raya yang awalnya seperti melihat malaikat paling tampan, tiba-tiba berubah kebingungan, “Sebenarnya ini ada apa sih??”
Dio tidak menjawab. Dia melihat Raya dari ujung kaki sampai ujung kepala dan tersenyum kecil, “Hhmm, gw heran kok di FB lo cantik banget, tapi kok aslinya kayak gini sih? Bulet, pendek, gendut lagi!! Hah, kok bisa si Arel ngenalin orang kayak lo sama gw. Benar-benar buang-buang waktu gw aja.”
WAH!! Bom waktu di otak Raya meledak mendengar hinaan dari mulut Dio. Dia tidak lagi bagaikan malaikat paling tampan, tapi dia sudah berubah jadi malaikat paling jelek kayak kambing congek!! Dengan mata penuh amarah, Raya memelototinya, “Heh, senior! Mulut lo tu dower banget kalau ngomong. Lo aja yang begok, mau aja ketemu sama cewek kayak gw. Jangan mentang-mentang lo senior paling paporit di kampus ne, lo bisa ngehina gw. Emangnya lo keren ha??? Di bandingin dengan Aming, lebih kerenan Aming dari pada lo, tau! Lo kira gw tertarik ma tampang lo? Kagak!”
Raya nggak henti-hentinya memaki-maki Dio. Wajah Dio memerah mendengar perkataannya. Raya langsung pergi dari situ dan mencibir ke wajah Dio. Setelah jauh dari tempat itu, Raya menoleh ke belakang dan melihat Dio tetap berdiri tak bergerak di sana, “Heh, rasain lo, makan tu hujatan gw!”
Dio tetap tak bergerak di sana. Dia tidak marah, tapi dia terkejut, “Wah, apaan tu tadi? Geledek bukan?” Tiba-tiba dia tertawa geli, “Hahahah.... cewek tu super juga ya’... waw... baru kali ini gw di maki-maki ma cewek.”
Dari kejauhan, Arel melihat Dio tertawa-tawa sendiri dan bergegas mendekatinya, “Heh, yo’! Ngapain lo di sini ketawa sendiri? Gila lo ya! Reputasi lo bisa jatoh kalau anak-anak liat lo!” Arel begitu sibuk menutupi ekspresi Dio yang kayak orang gila.
Dio terdiam menatap Arel dengan penuh arti. Dio menarik bahu Arel dan memeluknya. Dengan riangnya Dio berkata, “Makasih banget, rel! Makasiiiihhh banget!! Raya ... kereenn... cewek kayak dia yang selama ni gw cari! Heheh... yippiii...!!!” Dio menghuyung-huyungkan badan kurus cekingnya Arel ke kanan dan ke kiri. Arel juga ikut senang dengan pertemuan pertamanya dengan raya dan sekaligus tersiksa.
***
Raya memasuki gerbang kos dengan suasana hati kesal dan jengkel, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ternyata ada yang mengirim sms. Dia buka sms tersebut dan matanya terbelalak membaca isinya, “woi, ndhut. Gw bakal buktiin ke lo, kalau gw bukan cowok kayak yang lo bilang tadi! Inget itu ya!!! Dio”.
“Sialan! Dari mana pula tu orang dapet nomor gw. Aarrgghh... bullshit!!!” Raya kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Raya tak peduli apapun yang Dio bilang.
***
Pagi-pagi-nya, Raya terkejut ketika melihat wajah orang yang paling menjengkelkan di depan gerbang kos. Dio menyandarkan badanya di pintu mobil dan dia tersenyum ketika melihat Raya keluar dari kos.
“Heh, ngapain lo pagi-pagi udah nongol di depan muka gw! Nggak puas lo ya dengan makian gw kemaren? Mo tambah!! Haha...” Dio hanya diam. Dia membalikkan badan, membukakan pintu mobilnya dan menyilahkan Raya untuk masuk, “Silahkan masuk!”
Raya bingung, lalu tersenyum licik padanya, “Nggak perlu, makasih!” Lalu melenggang pergi dan pada saat itulah Dio berkata, “Kan kemaren gw dah bilang ma lo. Gw bakal buktiin kalau gw bukan cowok kayak yang lo bilang.” Kaki Raya terhenti melangkah, Raya bergumam dalam hati, “Apa dia serius? Kalau gitu, mari kita buktikan.” Raya membalikkan badan dan tersenyum pada Dio. Dia berjalan mendekati Dio dan menatap matanya lekat-lekat dan menaiki mobilnya.
Selang beberapa saat, laju mobil berada dalam kecepatan rata-rata. Di dalam perjalanan mereka hanya diam. Raya sering mempergoki Dio curi-curi pandang padanya, “Pertama, kita kemana?”
“Lo diam aja, ikuti aja intruksi gw. Di depan ada persimpangan, belok kiri. Jelas!!”
Dio terkejut ketika melihat tempat dimana mereka berhenti. Ya, mereka berhenti di depan sekolah modelling milik papa Raya. Sebelum papanya berangkat ke luar negeri, papanya berpesan untuk selalu mengunjungi sekolah tersebut supaya kesannya sekolah itu selalu diawasi dan dikontrol oleh pemiliknya. Raya tentu tidak salah membawa Dio kesini karena di sini pasti banyak cewek-cewek cantik nan kurus langsing dan tinggi, cocok dengan selera playboy kayak dia.
“Woi, bengong aja lo. Cepet ikut gw masuk.” Dio mengikuti Raya dari belakang. Baru saja masuk pintu utama, sudah banyak model-model pemula itu ngelirik ke arah Dio. Begitupun Dio, dia sibuk dengan gayanya yang tebar pesona pada model-model itu. Setelah menyapa beberapa karyawan, Raya lalu membawa Dio ke ruang kerja papanya. Selama papanya di luar negeri, Rayalah yang punya kuasa atas ruangan itu.
Raya melihat Dio duduk santai di sofa. Dia pun duduk di sofa berseberangan dengan Dio, “Seneng kan lo, gw bawa kemari. Cuci mata deh lo sampe puas.”
“Hehehe... eh, bokap lo punya sekolah modelling, kok lo nggak jadi model aja sich?”
Mata Raya melotot dibuatnya, “Hellooo... lo nggak liat badan tambun gw! Mana bisa jadi model!!”
Dio tertawa terbahak-bahak, “Haha, nggak tambun-tambun amat kok. Klo lo kurus, cantik kali.”
“Gw nggak kepikiran tu buat kurus. Buat apa? Buat menarik perhatian cowok? Hah, nggak penting banget. Yang ada kalau gw kurus, gw malah dijadiin pajangan berjalan ma cowok gw bukannya cinta!”
Dio ternganga mendengar perkataan Raya, “Pajangan?”
“Iya, lo liat aja cowok-cowok jaman sekarang. Cari cewek yang cantik, bohai, langsing buat apa? Kalau nggak buat pajangan buat dipamerin sama teman-temannya atau sebagai pelampiasan nafsu doank, bukan cinta!! Hhm, murahan!! Lebih baik jadi diri sendiri tampil apa adanya dan senyaman mungkin. Dan gw nyaman dengan keadaan gw yang sekarang.”
Raya melihat Dio hanya diam mendengarnya berceloteh. Dia hanya tersenyum dan selalu menatap Raya tanpa berkedip. Dia beranjak dari tempat duduknya. Dia menghampiri Raya, menundukkan kepalanya di depan wajah Raya, sambil mencubit kedua pipi Raya dia berkata,
“Benar, junior! Ngapain kita harus jadi seperti orang. Itu sama aja kita pake topeng. Jelas!!” Dio berdiri dan pergi meninggalkan Raya. Sebelum membuka pintu ruangan, dio berhenti, “o ya, dan satu hal lagi, gw bukan termasuk cowok seperti yang lo bilang tadi.” Dio pun berlalu.
Raya terkejut dengan pernyataannya yang terakhir, “Apa? Nggak termasuk? Bukannya cowok playboy itu sama aja. Dasar! mencoba membela diri ternyata.”
***
Semenjak itu, Raya sering mengajak Dio ke sekolah modelling tersebut karena kemanapun Raya pergi Dio selalu ada. Mungkin dengan itu Dio bisa membuktikan kalau dia bukan termasuk cowok seperti yang Raya bilang. Setidaknya, selama itu pula lah Raya bisa dilindungi oleh Dio. Perlahan-lahan perasaan itu mulai muncul dari lubuk hati Raya.

Suatu hari, Dio keluar dari sekolah modelling menuju mobilnya. Baru beberapa langkah keluar dari pintu, Dio mendapati mobilnya sudah ditunggui oleh seorang cewek berparas cantik, tinggi, stylist banget—Ima.
Dio tidak mempedulikan kehadiran Ima, dia berkata dengan nada pelan, “Minggir lo!”
Ima dengan cepat menahan tangan Dio untuk membuka pintu mobil, “Gw perlu bicara sama lo, tolong!” Dio memalingkan wajahnya dan menyeka tangan Ima, “Naik!!”
Mereka berhenti di sebuah taman yang tak jauh dari sekolah modelling Raya. Mereka duduk disalah satu kursi taman disana. Dio hanya diam sedangkan Ima selalu menatap wajah Dio.
“Dio... kayaknya lo deket banget sama anak itu. Setiap habis pulang kuliah, lo selalu menghilang. Ternyata menemani dia, Raya. Kalian pacaran ya?”
Dio tetap tidak menoleh, “Itu bukan urusan lo!”
Ima memegang tangan Dio. Wajahnya terlihat sedih, dengan lirih berkata, “Itu juga jadi urusan gw. Lo tau, semenjak kita putus sebulan yang lalu, gw baru sadar kalau ... gw benar-benar sayang sama lo.” Dio mengangkat ujung bibirnya dan melepas tangan Ima, “Hm, sayang? Setelah lo campakan gw, baru lo sadar? Apa hebatnya gw dibandingkan dengan ‘om-om’ yang ---” Belum selesai bicara, Ima menampar Dio .
“Maksud lo apa, hah?” Dio berteriak sambil memegang pipinya.
“Ngapain lo masih ungkit-ungkit masalah itu lagi?”
“Kenapa? Kenapa lo lebih memilih ‘om-om’ itu daripada gw! Lo kira kita putus karena apa!”
Ima terlihat bingung untuk menjawabnya, “Itu ... lo kan tau gw perlu banyak uang waktu itu!”
“Mengapa lo nggak mintak sama gw? Gw kan cowok lo!! Setidaknya gw bisa bantu lo sedikit.” Dio diam sejenak, “Oh, karena uang dia lebih banyak dari gw, iya kan! Murahan lo!”
Air mata Ima mulai menetes, “YO!!! Gw nggak ada jalan lain.”
Dio terkejut, “Apa? Lo tu sesat! Lo sama sekali nggak menghargai gw sebagai cowok lo. Sorry, gw nggak butuh cewek kayak lo lagi.” Dio beranjak dari duduknya dan melangkah pergi tetapi Ima menahan Dio. Ima merangkul Dio dari belakang, “Please, Dio ... jangan pergi.” Dio tidak mendengar. Dio berusaha melepaskan pelukan Ima tetapi Ima merangkul cukup erat. Sebelum Ima melepaskan rangkulannya, pada saat itulah Dio menyadari kalau dari tadi dia diperhatikan oleh Raya.
Raya hanya berdiri tak bergerak melihat adegan berpelukan Dio dan Ima. Wajahnya tampak terkejut tetapi tetap tenang. Raya tersenyum ke arah Dio dan berbalik badan menjauh dari Dio.
Dio salah tingkah. Berbeda dengan Ima. Ima tersenyum lebar karena itulah yang dia mau. Membuat Raya cemburu. Dio bergerak dengan cepat. Di lepaskannya pelukan Ima dan berlari mengejar Raya.
“Raya!”
Raya berhenti melangkah. Dio berdiri tak jauh di belakangnya, “Lo jangan salah paham dulu.”
Raya tidak mentap Dio dan berkata,“Seharusnya lo mengakui apa yang gw katakan dulu. Awalnya gw udah mulai percaya tapi taunya sama saja. Pembohong!” Raya kembali melangkahkan kakinya. Dia tidak mempedulikan Dio yang terus memanggilnya dari belakang.
***
Semalaman Dio tidak bisa tidur. Dia tidak henti-hentinya menyesali perilakunya. Ada rasa cemas yang muncul dari hatinya. Rasa yang tidak mau dia rasakan sekali lagi setelah Ima.
Setelah kuliah, Dio langsung pergi mencari Raya ke fakultasnya tetapi tak bertemu. Dio kemudian mencari ke sekolah modellingnya, tetapi kata karyawan di sana Raya baru saja pergi.
Dio berkata dalam hati, “Apakah Raya ada di taman itu?”
Benar saja, Dio mendapati Raya sedang berjalan sendiri di taman. Wajah Raya tampak sendu. Dia seperti memikirkan sesuatu. Dio mendekati Raya. Raya menyadari ada seseorang yang menghampirinya. Wajahnya yang tertunduk, perlahan terangkat tetapi tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Raya tidak peduli. Dia tetap berjalan ke depan hingga berpapasan dengan Dio.
“Tunggu!” Dio langsung memegang tangan Raya sewaktu berpapasan dengannya. Raya berhenti. Mereka menatap arah yang berlawanan.
“Ima adalah mantan gw sebulan lalu. Dia meminta gw kembali padanya. Tetapi gw menolak. Gw mohon, lo cabut kata-kata lo yang kemaren. Gw tidak seperti itu.”
“Apa peduli gw. Gw kan bukan siapa-siapa lo,” kata Ima lirih.
Dio menatap Raya penuh harap tetapi Raya lebih banyak diam, tidak mau menoleh pada Dio. Setelah berbicara, Dio melepaskan tangan Raya.
Raya tidak langsung pergi. Perlahan dia menatap Dio, “Apa yang sebenarnya lo inginkan dari gw?”
Dio menarik bahu Raya untuk berhadapan dengannya. Matanya menatap dalam mata Raya, “Gw sayang sama lo!”
Raya terkejut. Dengan nada tak percaya Raya berkata, “Hm.. sudahlah. Gw nggak butuh kata bullshit dari mulut playboy lo!”
“Raya, lo nggak percaya ma gw?” Dengan lembut Dio memeluk Raya di taman itu. Tapi, tidak ada perlawanan yang berarti dari Raya.
Dengan lirih Dio berkata,“Raya, apa lo bisa ngerasain detak jantung gw sekarang? Lo kira kenapa gw mau capek-capek ngikutin lo kemanapun lo pergi? Kenapa gw mau capek-capek membuktikan semuanya sama lo selama ini? Lo tau kenapa, hah? Selama gw bersama lo, setiap langkah yang kita lewati selama ini berdua, semuanya itu menyadarkan gw kalau gw sayang ma lo! Gw nggak menginginkan apapun hari ini. Yang gw inginkan hanya lo.. Hanya kamu Raya”
Mata Raya meneteskan air mata. Hatinya tersentuh mendengar setiap kata-kata Dio. Bibirnya bergetar saat mengatakan, “Dio, sungguhkah?”
Dio tersenyum manja. Dio memeluk erat tubuh Raya dengan lembut. Waktu itu lah angin berhembus sepoi-sepoi menyejukkan. Mereka larut dalam susana haru.
“Horeee!! Berarti gw berhasil donk!!” Tiba-tiba Arel muncul di tengah-tengah Dio dan Raya. Dio kesal dan menjitak kepala Arel, “Yee... gangguin orang aja lo. Hahaha....”
Mereka bertiga-pun tertawa bahagia bersama. 
END...

1 komentar:

  1. cool...
    totally cool...

    hahaha... never laugh this hard in a long time...
    never thought the ending will be like that... :D

    thanks for making me laughing so hard HAHAHA

    keep writing :)

    BalasHapus