Free Monkey ani Cursors at www.totallyfreecursors.com
My Story Life Space: BUNGA

Who am I ?

Foto saya
Buat apa harus MENIRU ORANG LAIN untuk bisa menjadi TERKENAL... #just be the way U r --> Elo ya Elo -- Gw ya Gw <--

Kamis, 08 Maret 2012

BUNGA

Pagi-pagi buta ku sudah duduk sendiri di bangku taman. Mereka menyuruhku berjalan-jalan dan menghirup udara pagi. Tapi, kalau sendirian aja kan nggak asyik, sepi !!. Ku mulai berjalan sambil melihat-lihat tumbuhan hijau yang begitu indah dan segar. Hatiku bertanya, akankah ku bisa seperti mereka untuk waktu yang lebih lama?
Langkah kaki ku terhenti setelah menyadari bahwa di hadapanku telah berdiri seseorang yang selalu menemaniku. Badan proporsional, hitam manis, dipadu dengan kacamata frame hitam yang membuatnya mempesona. Yup, namanya Dokter Resya.
“Hmm... hy, koq berjalan sendirian saja di sini?”
“ng... itu.. tadi disuruh sama suster jalan pagi, tapi nggak di temenin...”
“Ow, begitu. Boleh saya temani??”
“hhmm.. boleh kalau dokter nggak keberatan.”
“Oh, nggak koq, saya nggak bawa barang apa-apa jadi nggak keberatan, haha”
“he---he--”
“Oya, bagaimana keadaan kamu sekarang? Apakah kamu merasa ada perkembangan?”
“ . . . ”
Aku hidup sebagai salah satu dari sekian banyak anggota Panti Asuhan Azzahra. Panti asuhan yang menampung anak-anak terlantar khususnya yang mengidap suatu penyakit. Aku bukan terlantar tapi ku dikirim oleh ayahku sepeninggal Ibu. Dia menikah kembali entah dengan siapa. Dia mungkin sibuk dengan keluarga barunya dan tidak tahan menjaga anak yang penyakitan sepertiku.
Sudah 6 bulan ini ku menjalani perawatan karena sakit Leukimia stadium akhir. Dan Dokter Resya adalah salah satu dokter yang ada di panti asuhan ini. Dia adalah dokter termuda disini. Jasanya sangat diperlukan karena diakui sangat susah untuk dapat mempekerjakan dokter di panti ini dikarenakan oleh gaji yang tidak syncrone dengan gaji dokter pada umumnya. Tapi, beruntung Dokter Resya dapat memaklumi itu dan mau dibayar berapapun. Sungguh dermawan.
“Ngomong-ngomong, pagi ini kamu sudah minum obat??”
“Belum, dokter.”
“HHmm, yasudah, saya antar kamu ke ruang perawatan ya, supaya saya dapat mengawasi kamu minum obat, okey!”
“Oh, ya... baiklah dokter. Terimakasih.”
Jantungku berdetak dengan kencang. Aku selalu gugup dan grogi jika diantar oleh Dokter Resya ke ruang perawatan. Sudah lama perasaan ini kurasakan, ku merasa Dokter Resya adalah malaikat pelindungku yang turun dari langit. Ku merasa dia memberikan kasih sayangnya yang lebih kepadaku dari pada anak-anak panti yang lain. 
*****
“Eh, liat tu deh. Lagi-lagi Resya mengantar anak itu ke ruang perawatan. Emangnya apa sich yang menarik dari cewek sekarat itu, mengapa Resya begitu sangat perhatian??? Setiap hari dia terus menemani cewek itu. ”
“Hah, sudahlah. Kamu kayak nggak tau Resya aja. Dia kan melankolis, paling nggak bisa liat orang yang hampir mati. Hahaha...”
“Haha, bener juga kamu Win. Betewe, kamu nggak cemburu liat Resya dekat-dekat terus dengan cewek itu???”
“Dikit sich, tapi untuk kali ini biarin aja dulu, toh bentar lagi tu cewek bakal metong. Hmm..”
Wini dan Stefi, dua orang perawat yang ku dengar dari gosip-gosipnya para pasien, perawat-perawat paling rumpi dan genit khususnya sama Dokter Resya. Di depan Dokter Resya, mereka bisa bersifat baik banget kayak malaikat tetapi setelah Dokter Resya pergi, wadoouuhh galaknya mintak ampun melebihi galaknya Bulldog. Hahaayy...!!!
Nggak heran kalau mereka begitu dekat dengan Dokter Resya, mereka berasal dari rumah sakit yang sama sebelum mereka diutus untuk menjadi perawat di panti asuhan ini.
***
“Selamat pagi, Dokter Resya.”
“Pagi, suster Wini dan suster Stefi. Pagi-pagi seperti ini, ada apa ya??”
“Tidak ada apa-apa, kami hanya ingin menemani dokter mengawasi ... si...”
“Bunga ...?”
“Oh ya, mengawasi Bunga minum obat karena di panti ini kan Bunga lah yang sakitnya paling parah, dokter.”
“Hmm.. begitu ya. Terimakasih perhatiannya para suster. Saya bisa mengawasinya sendiri. Silahkan kalian awasi pasien-pasien yang lain.”
“Tapi, dokter ...”
“Pasien yang lain membutuhkan anda suster. Saya tidak ingin sakitnya Bunga tambah parah kalau kalian tetap ada disini.”
“Baiklah, dokter. Kami permisi dulu.”
Suster Wini dan Stefi pergi dengan wajah merah, entah karena marah oleh perkataan Dokter Resya yang terkesan mengusir atau karena malu. Mereka melangkah dengan hentakan kaki yang cukup keras, tapi itu tidak mengganggu Dokter Resya. Dia hanya tersenyum kecil melihat sikap suster-suster tersebut.
“Aaarrghh.. sialan banget tu Resya. Dia mempermalukan gw didepan cewek sekarat itu!!!!!”
“Iya, gw curiga deh hubungan antara Resya dengan cewek sekarat itu. Ngapain juga dia bela-belain cewek kayak gitu.”
“Bener juga lo stef!! Gw harus cari tau, hubungan apa antara mereka berdua.”
*****
Di ruang perawatan, Dokter Resya masih mengawasiku. Yah, sebagai orang sakit, aku tak bisa minum obat tanpa pengawasan. Dosisnya .... tabletnya ... pilnya ... ini nya ... itu nya ..... dan nya nya nya lainnnya ... harus diawasi langsung sama ahlinya. :p
“Sudahkan, saya mau pergi mencheck kondisi pasien panti yang lain. Saya ragu kalau suster-suster yang tadi itu bisa melakukan tugasnya dengan baik.”
“Hehe, iya dokter, silahkan. Terimakasih, dok.”
Dokter Resya tersenyum mendengar perkataanku, matanya melihatku dengan lembut, tangannya mengelus kepalaku dan berkata, “Sama-sama, bunga. Istirahat yang banyak, ya.”
“I... iy .. iya dokter.”
***
“Hhhmm... habis minum obat koq rasanya ngantuk banget ya. Efek sampingnya kali ya! Hhooaammm. Lebih baik ke kamar, bobok sekalian istirahat. Gila aja pagi-pagi buta sudah disuruh jalan-jalan sama suster-suster genit itu, capek tau!”
Berjalan perlahan di koridor, sendirian. Tiba-tiba tanganku ditarik paksa oleh beberapa orang yang tentu sangat aku kenal. Mereka mendekap mulutku dan menyeretku ke sebuah ruangan, gudang...!!
“HAH!!! Suster Wini ... Suster Stefi ... ada apa ini? Mengapa kalian membawaku ke tempat ini?”
“Haaalah, diam lo. Lo seneng kan tadi Resya berhasil mempermalukan gw di depan lo, HAH!!! SENENG KAN!!!”
“Maksudnya?”
“Yee... sok begok lagi lo. Gw curiga, jangan-jangan lo dan Resya ada hubungan spesial, ya. JAWAB!!!”
“Nggak ... nggak ada koq suster, sumpah”
“Gw nggak percaya, tapi mengapa Resya begitu perhatian banget sama lo, hah???”
“Hmm.. anu ... itu saya nggak tau suster.”
“Nggak tau ... nggak tau ... lama-lama gw muak liat tampang lo ya. Hmm... mungkin dengan lo menetap di sini semalam aja, bisa ngubah sedikit dari pandangan gw di panti asuhan ini. Kalau nggak ada Resya, gw juga ogah kali bekerja di panti jelek kayak gini, tau lo!!!”
Dengan cepat Suster Wini dan Suster Stefi mengunci ku dari luar gudang itu. Gudang kotor penuh debu hampa udara, gelap dan dingin.
“Suster... bukak suster ... Bunga takut. Tolong, buka suster... toloong ...”
Badanku lemas, aku terduduk di depan pintu. Aku nggak kuat debu. Dadaku sesak. Kepalaku pusing, pandanganku kabur dan badanku ambruk.
***
Jam makan siang di panti asuhan sudah hampir selesai, tetapi Dokter Resya terlihat bingung mencari sesuatu. Dia terus mondar-mandir dari depan pintu panti ke ruang makan. Tetapi gerak geriknya belum juga tenang. Terlihat dari wajahnya yang mencemaskan sesuatu.
“Hmm... sudah jam segini mengapa bunga belum datang juga ke ruang makan? Kemana sebenarnya anak itu?”
“Sedang mencari siapa, dokter?”
“Oh, Ibu kepala. Begini bu, dari tadi saya tidak melihat Bunga, tidak di depan ataupun di ruang makan, bu.”
“Bunga? Apakah sudah dokter cari di kamarnya?”
“Belum, bu.”
“Ya sudah, biar saya yang minta perawat lain untuk mencari bunga di kamar. Dokter tolong tetap awasi anak-anak di sini.”
“Baik, terimakasih bu.”
*****
Di halaman belakang panti, Wini dan Stefi seperti merayakan keberhasilan mereka menyekap Bunga dan membuat geger seisi panti.
“Eh win, lo liat nggak seisi panti pada pusing nyariin si Bunga.”
“Hahaha... biarin aja. Mau cari kemana juga nggak bakalan ketemu. Kunci gudang kan ada sama kita. Orang-orang nggak bakal mencari sampai kesana.”
“Tapi win, kalau tu anak mati, gimana?”
“Mati? Ya, nggak mungkin lah. Kan Cuma dikunci semalam aja di gudang. Tengah malam nanti, kita balikin dia ke kamarnya. Amankan!!”
“APA YANG KALIAN BILANG!!!”
Tiba-tiba suara Resya memecah perbincangan Wini dan Stefi. Ternyata, dengan tidak sengaja, Resya mendengar perbincangan mereka berdua. Mereka sangat terkejut dan wajah mereka berubah menjadi ketakutan. Dengan tegas, Resya menghampiri mereka dan mencengkram erat kerah baju para suster itu.
“Apa yang telah kalian lakukan dengan Bunga?”
“Dokter... itu ...”
“JAWAB!!”
“Bunga sekarang ada di ...”
“BUNGA DITEMUKAN... PANGGIL AMBULANCE!!”
Teriakan dari salah satu satpam panti menunjukkan bahwa Bunga telah ditemukan. Bunga ditemukan dalam keadaan pingsan. Badannya terkulai, napasnya tak terdengar, denyut nadinya lemah dan wajahnya pucat pasi. Dengan cepat satpam tersebut menggendong Bunga ke dalam Ambulance.
Amarah Resya memuncak melihat keadaan Bunga. Dia menatap kedua suster itu dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. Dia melepas cengkeramannya dan mendorong kuat suster-suster itu hingga jatuh tersungkur.
“Ingat, urusan kalian dengan gw belum selesai. Kalau terjadi apa-apa dengan Bunga. AWAS!!”
“Heh, lo pikir gw takut sama lo hah!!”
“Jangan coba-coba kabur dari panti asuhan ini, lo berdua ikut gw. SEKARANG!!”
Resya membawa Wini dan Stefi ke gudang tempat dimana Bunga disekap dan mengurung mereka di sana. Setelah itu Resya bergegas pergi ke rumah sakit. Jantung Resya berdetak sangat kencang. Dia sangat mencemaskan keadaan Bunga. Tanpa sadar dia melaju dengan kecepatan tinggi. Saat itulah dia teringat dengan peristiwa beberapa bulan lalu sebelum dia masuk ke Panti Asuhan Azzahra ...
“Tolong kamu jaga Bunga dengan sebaik mungkin di sana. Dia sudah tidak bisa bertahan lama lagi”
“Mengapa tidak anda sendiri yang merawatnya, anda kan ayahnya.”
“Kamu tau kan apa yang sedang saya lakukan sekarang, secara tidak langsung saya sudah merawat Bunga.”
“Mengapa harus saya??”
“Mengapa? Itu karena Ibumu. Selain Bunga, saya juga punya tanggung jawab terhadap Ibumu.”
“Ibu...? Heh, sampai kapanpun saya tidak akan merestui Ibuku menikah lagi dengan anda dan saya tidak akan pernah mengakui anda sebagai ayah saya.”
“Baiklah, saya dapat menerima penolakanmu itu, tapi setidaknya kamu melakukan semua permintaan saya terhadap Bunga itu demi kebahagiaan Ibumu.”
“Kebahagiaan Ibu??”
“Tidakkah kamu tau, Ibumu sangat menginginkan kamu menjadi Dokter yang profesional. Apa salahnya kamu menjaga adikmu sendiri. Walaupun Bunga adalah adik tirimu.”
***
Setibanya Resya di rumah sakit, Resya langsung menuju UGD. Di ruang tunggu, Resya bertemu dengan Pak asep−satpam panti.
“Pak Asep, bagaimana Bunga?”
“Dokter belum keluar dari ruang UGD, pak.”
“Maaf, Pak Asep, bapak kok bisa menemukan Bunga di gudang??”
“Oh, itu pak, sewaktu seluruh isi panti sibuk mencari non Bunga, ada orang yang bilang sama saya bahwa ada 2 orang yang masuk ke kantor satpam. Disitu saya curiga. Saya langsung memeriksa barang-barang jikalau ada yang hilang. Ternyata tidak ada, hanya saja saya tidak menemukan kunci gudang, pak.”
“Hmm.. begitu ya pak. Terimakasih banyak ya, pak. Sekarang bapak kembali saja ke panti. Bunga, biar saya saja yang menjaga di sini.”
***
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD. “Apakah anda saudara dari Bunga?”. Dokter itu menghela napas yang panjang dan terdiam sejenak, “ Maaf, kami sudah mencoba semampu kami tetapi kami tidak dapat menyelamatkan nyawa Bunga.”
Tubuh Resya tiba-tiba kaku mendengar pernyataan dari dokter itu, dengan terbata-bata dia berkata, “Tetapi ... kenapa dokter?”
“Hah... Bunga sudah berada di stadium akhir penyakitnya. Kondisi tubuhnya sudah sangat lemah. Ditambah lagi dengan perlakuan keras yang dia alami, tentu kemampuannya untuk bertahan sudah sangat berkurang karena tubuhnya semakin melemah. Bunga adalah gadis yang kuat. Saya terkejut ketika mengetahui Bunga bisa bertahan sejauh ini. Mungkin, ini batas kemampuan Bunga untuk bertahan. Bersabarlah!” Dokter itu mengakhiri penjelasannya dan beranjak pergi meninggalkan Resya.
Dengan langkah pelan, Resya mendekati tubuh Bunga yang telah terbujur kaku tanpa nyawa di ruang UGD. Air matanya mulai menetes. Dia menunduk mendekati wajah Bunga, dan berbisik ke telinga Bunga.
“Maaf ... maafkan ... kakak ... Bunga.” Resya menangis terisak dan memeluk jasad Bunga erat-erat dan terakhir dia mengecup lembut kening Bunga. Dia melihat jasad Bunga berlalu dihadapanya untuk dibawa ke rumah duka.
Resya terduduk di ruangan kosong itu, dan menangis sejadi-jadinya. Dia selalu menjulurkan tangannya ke arah jasad Bunga yang telah berlalu. Tiba-tiba tangannya mengepal dengan kuat. Dia teringat dengan 2 suster yang dia kurung di panti asuhan.
“Kurang ajar! Kalian akan dapat balasannya.” Resya dengan cepat meraih ponsel yang ada di kantong celananya. “Halo, kantor polisi. Saya mau melaporkan tindak penganiayaan dan pembunuhan di Panti Asuhan Azzahra!!!”
END

1 komentar:

  1. Hmm... What should i say about this...
    Err... Pretty shocked!

    BalasHapus